Sibernetika Talcott Parson


Talcott Parson’s Cybernetics dalam Hukum Ketenagakerjaan

 

Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain ditunjukkan secara sangat baik oleh Talcott Parson dengan Teori Sibernetika-nya (lihat Satjipto Rahardjo, 1985). Dalam teorinya, yang kemudian menjadikan sang penemu sebagai legenda dalam studi sosiologi hukum, karena dikenal dengan Sibernetika Talcott Parson (Talcott Parson’s Cybernetics) menyebutkan tentang ada empat subsistem: budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan.

Dilihat dari arus energi, subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem politik, baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan diakhiri oleh subsistem budaya. Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), subsistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh subsistem sosial, subsistem politik, dan berakhir pada subsistem ekonomi. Dalam gambar berikut (sibernetika-talcott-parson-jpg1) menunjukkan bahwa antar seluruh sub sistem tersebut saling mempengaruhi dan saling mendominasi.

Mengapa tulisan perlu ada, dan apa hubungannya sibernetika tersebut dalam praktek ketenagakerjaan? Dari pembagian wilayah hukum, hukum ketenagakerjaan termasuk dalam domain hukum publik, dimana ada keterlibatan negara dalam pelaksanaan dan penegakannya. Dengan kata lain, ada intervensi (peran) negara, baik dalam perumusan maupun penegakan sistem hukum ketenagakerjaan.

Didalam prakteknya, penegakan hukum ketenagakerjaan tidak dapat dilaksanakan jika hanya menggunakan pendekatan formil belaka. Pendekatan materiil-pun diperlukan dalam proses penegakan hukum ketenagakerjaan. Bahkan pendekatan hukum progresif, dimana penegakan hukum harus mempertimbangkan segala yang terjadi di masyarakat-pun perlu dipraktekkan. Bagaimana dengan pelaksanaan dan penegakan hukum ketenagakerjaan? Berbicara hukum ketenagakerjaan, tidak lepas dari keberadaan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini adalah kiblat hukum materiil tentang hampir seluruh aspek ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ini, diatur tentang berbagai aspek ketenagakerjaan seputar Landasan Asas tujuan, Perencanaan Ketenagakerjaan, Penempatan Naker, Penggunaan TKA, Hubungan Kerja, Hubungan industrial, Perlindungan, Pengupahan, Kesejahteraan, PHK, Pembinaan, Pengawasan, bahkan Penyidikan, dan ketentuan tentang sanksi Pidana&Administratif.

Setelah diketahui substansi UU tersebut, bagaimana penegakannya? Kaitannya dengan sibernetika talcott parson, praktek penegakan hukum ketenagakerjaan, sangat terkait dengan aspek sosial yang lain, yaitu budaya, ekonomi (bisnis), bahkan political will pemerintah sangat berperan dalam pembangunan hukum ketenagakerjaan. Dari aspek budaya, disini-lah (perusahaan, tempat kerja dll) terdapat berbagai macam budaya, tradisi, kebiasaan dan ini tidak homogen. Semuanya bercampur, antar daerah, antar wilayah, bahkan antar negara. Terlebih pada perusahaan PMA, joint venture, atau multi nastional company (MNC), yang dari sisi budaya perusahaan maupun budaya person-nya sudah pasti berbeda. Aspek ini, sedikit-banyak berpengaruh pada ketegasan dalam penegakan hukum. Dari aspek ekonomi (bisnis), sangat jelas, disinilah perputaran modal dan pergerakan ekonomi, yang selalu berkembang setiap waktu. Ada kepentingan pemodal (investor), dan kepentingan keberlangsungan ekonomi karyawan dan keluarganya.

Seluruh stakeholder dalam ketenagakerjaan jelas mempunyai motif dan prinsip ekonomi, dimana pada kenyataannya sedikit banyak mempengaruhi penegakan hukum. Dari political will pemerintah (negara), sangat jelas berpengaruh pada pembangunan hukum ketenagakerjaan. Sejauh mana pemerintah bersedia mengevaluasi, merevisi, melengkapi kebutuhan peraturan ketenagakerjaan menjadi simbol komitmen (politik) pemerintah dalam meningkatkan koalitas ketenagakerjaan. Dalam praktek di dunia kerja, tidak terlepas dengan adanya praktek outsourcing atau lebih tepatnya, penyerahan sebagian pekerjaan, atau pemborongan pekerjaan, atau pelaksana penempatan.

Dalam pasal-pasal yang terkait dengan hal tersebut, tidak sedikit ”sanksi” atau setidaknya akibat hukum jika pelaksanaan hal tersebut tidak memenuhi syarat formal / normatif. Misalnya saja, ketentuan yang terkait dengan perjanjian kerja waktu tertentu, pemborongan pekerjan, dan penyerahan sebagain pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP), dalam pasal 59 ayat 7 dinyatakan yang intinya bahwa ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu, yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, demi hukum, hubungan kerja menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Demikian juga dalam pasal 65 ayat 8, bahwa jika pemborongan pekerjaan yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan, atau sesuai padal 66 ayat 4 jika penyerahan sebagian pekerjaan tidak memenuhi persyaratam yang ditetapkan, maka demi hukum, hubungan kerja berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu antara karyawan dengan perusahaan pemberi kerja atau penyedia pekerjaan.

Sebagai contoh misalnya A karyawan PKWT, karena tidak perform, PKWTnya tidak diperpanjang. Sementara A harus menanggung keluarganya. Karena desakan ekonomi, mencari-cari kesalahan (bekas) perusahaan, bahwa PKWT tidak sah dan demi hukum berubah menjadi PKWTT, sehingga A berhak atas pesangon dan lain-lain. Kebanyakan, kondisi ini di-iya-kan instansi ketenagakerjaan karena ”tidak mau pusing” jika harus didesak karyawan terus menerus. Tentu, kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mengapa? Akan menjadi preseden buruk dan akan dijadikan pedoman untuk karyawan yang lain. Atau, kalaulah PKWT tersebut “salah”, maka yang salah tidak hanya perusahaan. Ingat perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha dan karyawan. Jadi jika perjanjian kerja “salah”, atau bertentangan dengan ketentuan ketenagakerjaan, atau menyalahi aturan dan lain-lain (tentu hal ini harus dibuktikan), para pihak yang bersepakat dalam dalam perjanjian kerja-lah yang sama-sama bertanggung jawab atas akibat hukumnya. Bukan satu pihak saja! Adakah logika atau sistematika berpikir ini digunakan dalam pelaksanaan / penegakan hukum ketenagakerjaan?

Sekedar contoh lain, ketika pengawas ketenagakerjaan “menemukan” praktek penyediaan jasa pekerja yang di-nilai pengawas “salah”, serta merta perusahaan pengguna “harus” mengalihkan karyawan PPJP tersebut menjadi karyawan sendiri. Tanpa bekal dan pemahaman yang cukup, perusahaan melaksanakan pengalihan status karyawan tersebut. Tak kurang akal, karena peralihan status tersebut tidak berdasarkan policy perusahaan, tetapi lebih karena permintaan instansi ketenagakerjaan, maka pengalihan statusnya dilemas dalam PKWT, baik dalam 3 bulan, 12 bulan, atau bahkan ada yang satu bulan. Kenyataan selanjutnya, setelah PKWT berakhir, karyawan kehilangan pekerjaan. Apa akibatnya? Ada tambahan persoalan ketenagakerjaan (pengangguran), tentu ini menjadi beban pemerintah. Persoalan lainnya, karyawan (dan keluarganya) kehilangan sumber pendapatan, dan berpotensi menimbulkan berbagai negative multiplier effect. Nah. Lho..! Bagaimana dengan perusahaan? Apakah kekurangan karyawan? Tentu tidak. Perusahaan mempunyai desempatan lebih longgar untuk merekrut karyawan baru.

Berbagai persoalan tersebut disebabkan prinsip pelaksanaan / penegakan hukum yang menjadikan alasan demi hukum an sich. Padahal penerapan yang demikian-lah yang biasanya memicu konflik industrial (perselisihan industrial) antara perusahaan dengan “mantan” karyawan (nya) pihak ketiga. Tentu, dalam perspektif Talcott Parson, yang dikehendaki tidaklah demikian. Mengapa? Selain demi hukum, juga harus berpikir bagaimana demi ekonomi, bagaimana (juga) demi budaya, demi kepentingan pemerintah (politik) dan seterusnya. Bukankah demi-demi yang demikian juga harus dipertimbangkan, selain demi hukum?

Wassalam,

Semoga bermanfaat.

 

Ttd,

 

Imron Munfaat

Explore posts in the same categories: Ketentuan Ketenagakerjaan, Uncategorized

3 Comments on “Sibernetika Talcott Parson”

  1. Omer Says:

    Thanks ya Gan
    Saya ada tugas Teori ini?
    tapi teorinya Cybernetika ato Sibernetika?
    Soalnya saya search di google kata kunci Cybernetika cuma satu ini yang keluar.


  2. […] https://bangim76.wordpress.com/ diakses pada hari Senin jam 16:20 WIB tanggal 10 Oktober 2011 […]


Leave a comment